Sampaikanlah walau satu ayat Al-Qur'an Online

Kamis, 10 Desember 2009

SBY dan Politik Jalanan Muhammadiyah


Demonstrasi dan gerakan 9 Desember berakhir damai. Hal ini tentu menjadi harapan semua pihak. Dari 33 provinsi yang dilaporkan memperingati Hari Anti Korupsi Dunia, hanya ada dua tempat yang berakhir anarkis yakni di Makasar-Sulawesi Selatan dan Pamekasan, Madura. Selebihnya tetap berjalan tertib dan damai. Keberhasilan ini seakan memberi pesan kepada Istana bahwa rakyat juga bisa tertib, damai. Hanya saja idealnya, acara ini dapat dihadiri dan dipimpin langsung oleh SBY selaku presiden dan kepala negara. Alasannya, pemberantasan korupsi adalah komitmen SBY bahkan menjadi jualan politiknya ketika kampanye pilpres beberapa waktu lalu. Pidato kenegaraan pada malam menjelang peringatan Hari Anti Korupsi tak lebih sekedar cerita usang SBY yang mungkin lebih layak ditampilkan di “facebook” kepresidenan. SBY dapat menulisnya dengan judul “cerita tentang korupsi”. Ini artinya, pidato tersebut sesungguhnya tidak memiliki makna, bahkan cenderung aneh dan lucu. Nothing special.

Ketika aksi berlangsung, SBY justru berada di Bali dengan agenda lain. Lebih elegan misalnya kalau SBY justru secara langsung mendukung aksi rakyatnya sendiri, misalnya dengan mimbar bebas dan dilakukan di depan Istana. Jika ini dilakukan, rating politik SBY akan naik, sebagaimana yang diinginkan dan tentu saja inilah yang menjadi pola permainan (selalu bermimpi tentang citra dan nama baik) Istana. Mengutip lagu para demonstran, semestinya pemberantasan korupsi harus dimulai dari istana. Pesan ini dapat dimaknai, bahwa mencuci piring kotor sebaiknya bukan dimulai dari piring tetangga.

Terlepas dari catatan di atas, ada yang menarik dari peringatan Hari Anti Korupsi kemaren, gelombang aksi Muhammadiyah connections. Beberapa hari sebelum peringatan, aktifitas di Gedung Dakwah (kantor PP Muhammadiyah) terlihat ramai dan padat dengan aktifitas persiapan memperingati Hari Anti Korupsi. Dari tingkit Pimpimpinan Pusat (PP) hingga ke organisasi otonom seperti IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, kelompok 77/78 (M. Hatta Taliwang, anggota Muhammadiyah) terlihat bersatu menyamakan suara dan gerakan dalam agenda memperingati Hari Anti Korupsi. Penilaian politik atas aksi Muhammadiyah connections adalah menjadikan SBY sebagai musuh bersama. Melakukan aksi damai dengan memperingati peristiwa Hari Anti Korupsi tak lebih sekedar katalisator untuk memperlancar sasaran tembak berikutnya, menggoyangkan Istana. Ada beberapa jastifikasi untuk memperkuat analisa di atas, serta alasan mengapa Muhammadiyah terlihat aktif dalam menekan Istana.
Pertama, sejauh ini, untuk pertama kali, seluruh organ Muhammadiyah bersatu. Dari konsep dan ide hingga ke aksi jalanan. Bahkan seorang Din Syamsuddin menjadi penasehat Gerakan Indonesia Bersih (GIB). Selebihnya, Izzul Islam (Ketua Pemuda Muhammadiyah) dipercaya sebagai salah satu penanggung jawab aksi. Lainnya, Ton Abdillah (IMM), turut secara aktif mengawal aksi damai sampai dengan aksi panggung. Tidak heran di sekitar Istana, lambang, panji dan simbul (bendera) Muhammadiyah serta organnya telah memerahkan Silang Monas.

Kedua, Muhammadiyah dalam kepemimpinan SBY cenderung “dianaktirikan” sebagai organisasi sosial. Dalam beberapa item, Nahdatul Ulama (NU) termasuk juga bagian ini. Dari periode pertema hingga yang kedua, posisi Muhammadiyah tidak menjadi “daftar penting” sebagai partner SBY dalam irama membangun bangsa. Pakem kursi kabinet yang selama ini di Departemen Pendidikan Nasional diisi Muhammadiyah, kini telah diserahkan kepada wakil parpol. SBY dalam hal ini, lebih cenderung menggandeng PAN dan PKB. Padalah secara kultural, dua entitas politik ini tidak dapat diinterpretasikan sebagai wakil Muhammadiyah dan juga NU. Ada kesan, SBY telah menyepelekan Muhammadiyah. Memang dalam gerakannya, Muhammadiyah bukanlah gerakan politik, tetapi perlu diingat bahwa Muhammadiyah memiliki kekuatan dan bargaining politik. Poin ini perlu diuji dengan kondisi empiris. Ketika wapres Boediono diserang dari segala arah, tak ada partai, kelompok atau dukungan massif yang membelanya. Ceritanya akan menjadi lain, ketika misalnya seorang Din Syamsuddin yang menjadi Wapres dan mendapat serangan. Dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah group akan membela dan mempertaruhkan semuanya untuk membela sang kader. Dalam kontesk ini, telah terjadi kekeliruan besar dalam strategi dan implementasi politik SBY.


Sejauh ini, dalam perjalanan roda kabinet, permainan SBY lebih mesra dengan partai politik. Bagi SBY, partai politik adalah jaminan bagi langgengnya kekusaan Cikeas di Istana. Di Senayan misalnya, partai pendukung SBY menjadi mayoritas. Di kabinet pun sami mawon. Hanya saja, SBY sedikit bersedih ketika PDIP tidak memberikan dukungan politik. Apa yang terjadi kemudian? NGO/LSM, Kampus, Mahasiswa/BEM, Ormas tersisihkan dalam peta politik pendukung SBY. Akibatnya, gerakan politik rakyat kini menjadi musuh utama SBY. Terlihat misalnya, dari kasus konflik cicak versus buaya, Century Gate dan lainnya telah berubah menjadi duri politik dalam seratus hari kerja SBY. Gelombang demonstrasi dan tekanan politik rakyat bahkan menggoyangkan parlemen, sebuah ruang yang sejujurnya telah didominasi pendukung politik SBY. Sekali lagi, SBY telah khilaf dalam kalkulasi politik, menyepelekan ormas dan NGO, termasuk kalangan kampus. Kini parpol dipaksa menuruti kehendak publik, Istana pun demikian. Buktinya, Bibit dan Chandara kembali berkantor di KPK, Pansus Century terbentuk- walau masih abu-abu.

Kini sasaran tembak politik dipastikan menggoyang Istana, bukan tidak mungkin SBY dijadikan musuh bersama. Dalam hal ini termasuk Muhammadiyah. Kesolidan Muhammadiyah dalam aksi jalanan ketika memperingati Hari Anti Korupsi pada 9 Desember lalu dapat dipandang sebagai bentuk menyatunya satu entitas ormas besar. Konon dikatakan ormas sosial, namun letupan politik bukan tidak mungkin akan meledak, kini bersiaplah wahai penghuni Istana.

sumber:
http://maubaca.com/editorial/641-sby-dan-politik-jalanan-muhammadiyah.html

Tidak ada komentar: