Sampaikanlah walau satu ayat Al-Qur'an Online

Kamis, 18 Juni 2009

Fakta Tersembunyi SBY-JK (3) - Hutang Negara Membengkak


(Jika Anda pernah membaca artikel saya sebelumnya mengenai Iklan Penurunan BBM Demokrat dan Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintah SBY-JK Jilid 1 dan Jilid 2, maka silahkan langsung membaca Pendahuluan Utang artikel ini)

Awalnya saya sudah enggan menulis fakta-fakta yang akan memojokkan iklan Partai Demokrat dan juga materi kampanye Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Pak SBY selaku Presiden RI 2004-2009. Bagaimanapun juga, Pak SBY adalah presiden terpilih pada Pilpres 2004 dengan suara lebih 60%, sehingga kita sebagai warga negara memiliki kewajiban menghargai seorang kepala negara sekaligus kepala pemerintah Republik Indonesia. Namun, saya pun berharap bahwa SBY selaku Presiden hendaknya fair dan objektif dalam menyampaikan informasi ke publik. Jangan karena memiliki jabatan dan sekaligus kekuasaan demi partai, maka dengan enteng menyodorkan data-data yang membuat opini publik ling-lung alias “bodoh atas fakta”.

Dalam tulisan ini, saya akan membongkar fakta kebijakan Presiden (bukan pribadi presiden tapi kebijakan) dan juga kampanye SBY selaku orang partai (bukan presiden) yang jika kita mengetahuinya data yang sesungguhnya, maka kita akan bingung dengan statement para politisi Demokrat maupun Pak SBY (SBY selaku Ketua Dewan Pembina Demokrat, bukan sosok Presiden). Maka, sebagai warga negara kita patut berpartisipasi dalam menegakkan hal-hal (data) yang benar. Dan jangan sampai seorang Presiden RI kembali memiliki tabiat buruk dalam menyampaikan data dan fakta pemerintahan dengan mengatasnamakan kepentingan partai dan citra. Jangan sampai suatu saat (10 tahun mendatang), rakyat menge’cap mantan presiden kita merupakan seorang lihai dalam bersilat lidah alias pembohong politik.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka saya ingin penguasa negeri ini (terutama politisi Demokrat) agar lebih bermoral dalam menyampaikan iklan politik. Sindiran dan kata-kata halus tampaknya tidak dapat dimengerti dengan mudah oleh para politisi Demokrat yang katanya cerdas. Sehingga sayapun telah menulis berbagai tulisan kritik atas iklan-iklan Demokrat yang cenderung manipulatif secara opini-data. Beberapa tulisan keprihatinan saya adalah Iklan Penurunan BBM SBY dan Demokrat yang Busuk secara informasi data pada pertengahan Desember 2008. Lalu iklan Demokrat tentang prestasi “naik-turun” yang memenuhi berbagai media saya sanggah melalui berbagai fakta tersembunyi dalam dua bagian yakni Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintahan SBY-JK (1), dan Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintah SBY-JK (2). Dua bagian tulisan terakhir berisi tentang fakta-fakta pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, jumlah angka kemiskinan, harga minyak, harga kebutuhan pokok, stabilitas nilai tukar rupiah, dan privatisasi ala “SBY-JK”.

Disamping itu, tulisan ini juga kritik saya bagi semua parpol dan para capres yang lebih banyak berjanji ria, ketimbang memiliki visi dan misi yang jelas bagi penyelamatan negeri, melakukan tindakan nyata. Bukan mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah dengan iklan-iklan yang tidak mendidik.

******
Pendahuluan Utang

Banyak orang memiliki pandangan bahwa selama pemerintah SBY yang didukung Demokrat (seperti iklannya) bahwa jumlah utang Indonesia berkurang. Tidak sedikit beberapa pengunjung blog saya meninggalkan komentar dengan mengatakan SBY dan Sri Mulyani berhasil mengurangi utang Indonesia. Begitu juga iklan-iklan Demokrat yang dengan bangga menampilkan Indonesia berhasil keluar dari utang IMF. Hal senada ketika kampanye partai Demokrat 2009, SBY mengklaim ia berhasil mengurangi utang (IMF). Namun, benarkah utang kita berkurang? Benarkah utang luar negeri sudah lunas? Benarkah pemerintah saat ini bebas dari mental pengutang? Benarkah SBY-JK menyelesaikan tugasnya dengan jumlah utang negara berkurang?

Semua pertanyaan tersebut akan terjawab dengan jelas. Namun, sayang media jarang menyampaikan fakta-fakta perkembangan utang Indonesia selama pemerintah SBY yang didukung terus Demokrat (mendukung utang? mendukung kapitalis?).
SBY Tambah Utang Indonesia dari 1275 menjadi 1667 Trilun dalam 4 Tahun

Saya kurang tahu, apakah kader-kader Demokrat tidak pernah mengakses data Dirjen Pengelolaan Utang – Departemen


SBY

Keuangan RI yang secara jelas merilis jumlah utang Indonesia sejak 2001 hingga 2009 (www.dmo.or.id). Dan bagi simpatisan “fanatik” partai Demokrat, maka saya anjurkan untuk mengakses data utang negara Indonesia. Setelah itu, survei kronologis harga minyak dunia dengan harga premium. Lalu, survei kronologi seberapa kapitalis Indonesia dengan program privatisasi perusahaan-perusahaan BUMN strategis, kebijakan Bencana Lumpur Lapindo yang merugikan negara hingga 2 triliun lebih (melalui Perpres).

Berikut jumlah total utang Indonesia (2001-2009)
2001 : Rp 1263 triliun
2002 : Rp 1249 triliun
2003 : Rp 1240 triliun
2004 : Rp 1275 triliun
2005 : Rp 1268 triliun
2006 : Rp 1310 triliun
2007 : Rp 1387 triliun
2008 : Rp 1623 triliun
2009 : Rp 1667 triliun (Januari)

Sumber : Perkembangan Utang Pemerintah 2001-2009 (DMO)

Perkembangan Utang Dalam Negeri Indonesia 2004-2009
2004 : Rp 662 triliun
2005 : Rp 656 triliun
2006 : Rp 748 triliun
2007 : Rp 801 triliun
2008 : Rp 906 triliun
2009 : Rp 920 triliun

Cat: Utang dalam negeri berbentuk Surat Utang Negara termasuk surat utang berbentuk syari’ah


Dari data utang Indonesia di atas, maka ada beberapa fakta yang perlu ditelaah:
Pemerintah SBY “berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun. Atau peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80 triliun per tahun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang di era Pak Harto yakni 1500 triliun dalam jangka 32 tahun.
Selama 3,5 tahun memimpin Indonesia, Megawati menambah jumlah utang Indonesia sebesar Rp 12 triliun atau rata-rata naik sekitar Rp 4 triliun per tahun. Angka ini jauh lebih kecil dibanding SBY yakni 80 T per tahun.
Mental (secara kuantitatif) berutang pemerintah SBY 20 kali lebih besar (80 T dibagi 4 T) dibanding pemerintah Megawati.
Menjelang Pemilu, jumlah utang Indonesia memiliki trend naik. Anggaran negara akan naik secara signifikan disertai defisit yang besar. Anggaran besar umumnya untuk program-program menarik simpati masyarakat seperti peningkatan anggaran sosial dan kesehatan menjelang pemilu, BLT, dan sejenisnya.
Meskipun utang luar negeri tidak mengalami kenaikan signifikan, namun utang dalam negeri bertambah signifikan. Selama Indonesia merdeka, baru di pemerintah SBY utang dalam negeri naik 50% dalam jangka waktu 4 tahun (600-an triliun menjadi 900-an triliun)
Siapakah yang akan membayar utang tersebut?? : Generasi Mendatang dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang ketika Pak SBY telah tidak menjabat sebagai Presiden! Hal ini tidak jauh berbeda dengan era Soeharto yang meninggalkan segudang utang luar negeri, namun di era SBY, beliau meninggalkan utang dalam negeri yang fantastis. Dalam waktu 5-10 mendatang, setidak-tidaknya pemerintahan di tahun 2014-2024 akan menganggarkan puluhan triliun dana APBN tiap tahunnya untuk menutup utang + bunga yang dilakukan pemerintah SBY selama 2004-2009 ini. Kapankah ini berakhir? Lihatlah bagaimana Indonesia kembali terbilit hutang sejak pemerintahan Megawati [klik sini untuk info lanjut]
Secara analisis finansial umum (bukan utang ala Word Bank), maka penilaian utang ditentukan oleh definisi Debt to Foreign Exchange Rate ratio atau Ratio Utang/Devisa. Pada tahun 2004, ratio utang terhadap devisa Indonesia adalah sebesar Rp 1275 T / 331 T = 3,85. Sedangkan pada tahun 2008, ratio utang terhadap devisa Indonesia adalah Rp 1667 T / 552 T = 3.01. Angka 3 masihlah tinggi jika dibanding rasio utang/devisa China yakni hanya USD 363 M / 1946 M = 0.186. Dan salah satu mengapa ekonomi Thailand cukup stabil meskipun terjadi perang politik adalah rasio utang/devisa cukup kecil yakni USD 59M/114M = 0.52 disamping struktur ekonomi “klaster UKM“nya yang kuat.
Katakan Tidak Pada : Utang

Sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan pemerintah adalah mengolah anggaran negara dengan efisien dan efektif seraya meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi rakyat. Sudah seyogianya, jika anggaran belanja naik, berarti jumlah program kerja meningkat, dan tentu saja pendapatan atau pemasukan negara harus naik. Jika kita mengikuti UU APBN dari tahun 2004 hingga 2009, anggaran APBN cenderung didesain defisit sehingga untuk menutup “lebih besar pasak daripada tiang” adalah utang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Selama 4 tahun memerintah, utang luar negeri hanya turun 3 triliun, namun utang dalam negeri (surat utang negara) meningkat drastis mencapai tiga ratus triliun.

Yang aneh bin ajaib lagi, peningkatan APBN yang disertai pembengkakan jumlah utang negara rupanya tidak mengurangi angka kemiskinan rakyat. Jika di tahun 2004, jumlah penduduk miskin sebesar 36 juta jiwa, maka hingga Maret 2008 jumlah penduduk miskin masih diangka 35 juta jiwa (bahkan peneliti UI memperkirakan 40 juta penduduk miskin pada Desember 2008 ). Hah….Anggaran bertambah, kesejateraan tidak bertambah dan jumlah penduduk miskin tidak berkurang. Ini berarti pemerintah gagal mengelola anggaran (APBN) dengan efisien dan efektif. Masyarakat miskin tetap miskin, namun pemilik pemodal (orang kaya) tampaknya semakin kaya termasuk pejabat negara dan anggota dewan. Mau bukti anggaran yang tidak efisien, silakan mengakses data audit anggaran APBN oleh BPK. Tulisan senada saya rilis di : Jangan Mempolitisasi Anggaran Pendidikan 20%, yang salah isinya adalah inefisiensi serta penyalahan pengunaan anggaran pendidikan oleh Departemen Pendidikan Nasional (khusus audit tahun anggaran 2007). Dan satu lagi, rupanya utang yang besar diakibatkan pemerintah SBY tetap membayar utang najis yang ditinggalkan pemerintahan Soeharto dan Megawati.

Selain itu, besarnya utang negara yang dilakukan oleh SBY yang terus didukung (fanatisme?) Demokrat, memiliki arti bahwa pengelolaan ekonomi negara belum berhasil. Amerika saat ini memiliki utang yang maha dashyat, karena Amerika diambang kehancuran. Dan di tahun 2006 hingga 2009, utang dalam negeri Indonesia juga meningkat secara signifikan, maka ini mengindentifikasi keamanan ekonomi negara dibawah pemerintah SBY masih sangat kropos. Bagaimana pemimpin memimpin 230 juta rakyat, jika mental utang saat ini masih menjadi salah satu inti kebijakannya? Dan sebagian besar rakyat Indonesia, tidak mengetahui hal-hal ini. Mereka terbuai dengan iklan subjekif Partai Demokrat. Korupsi dana Capres 2004 tidak pernah diusut. Korupsi kebijakan Lapindo melalui Per.Pres 14 tahun 2007 menyengsarakan rakyat sunyi bak ditelan bumi. Korupsi kebijakan suspensi saham Bakrie dan royalti batubara akhirnya menjadi intrik terbesar SBY-JK-Ical pun tidak pernah tercium lagi. Dan masih banyak lagi. Belum lagi UU BHP yang hanya mengakomodasi 20% penduduk miskin ke perguruan tinggi, padahal jumlah penduduk miskin (standar 2 USD) mencapai 50% atau 100 juta. Jika, disebutkan satu persatu….maka dampak negatif kebijakan-kebijakan tersebut akan mulai terasa dalam jangka 5-10 tahun mendatang. Kembali, masyarakat miskinlah yang paling merasakan dampaknya.

Mengapa Katakan Tidak Pada : Utang

Kebijakan utang bukanlah hal yang buruk jika kebijakan utang dilakukan karena urgensi yang tinggi atau menjadi prorgam short term policy atas memburuknya perekonomian bangsa. Dalam konteks ini, maka seharusnya kebijakan utang tidak menjadi program tahunan. Jangan setiap tahun anggaran APBN selalu berisi utang dan utang lagi. Jangan membuat negara ini menjadi negara yang tidak lepas dari utang setiap tahunnya. Dan jangan menambah besaran utang lagi. Mengapa?

Selama utang masih menjadi mental dan paradigma pemerintah, maka masyarakat Indonesia tidak akan luput dari kelaparan dan kesengsaraan ekonomi akibat utang yang baru akan terasa pasca 10-20 tahun mendatang (mirip kasus utang orba). Masih jelas dalam sejarah Indonesia, bagaimana utang menjerat Indonesia menjadi negara terkorup, utang membawa Indonesia menjadi “budak” asing dan kapitalis, dan utang menjadi senjata penguasaan aset-aset sumber daya alam strategis oleh asing dan pemilik modal. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia menjadi sasaran empuk bagi negara kapitalis dalam masalah hutang, hal ini berbeda dengan perlakuan yang diterima oleh negara-negara sesama kapitalis. Misalnya Amerika membantu Jepang.

Sesaat setelah Soekarno digulingkan, dan dimulainya masa era Soeharto (1967) yang didukung penuh oleh IMF, World Bank, ADB, USAID, CGI, maka Indonesia masuk dalam penjajahan neokolonialsme. Bahkan praktek neokolonialisme dilakukan oleh teknokrat jebolan University of California Berkeley (dikenal sebagai Mafia Berkeley) di Amerika yang memegang kebijakan ekonomi dalam pemerintahan Orde Baru. Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia, lembaga-lembaga Bank tersebut secara ekspilisit memberi arahan yang dieksekusi dengan baik oleh Mafia Berkeley dalam penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang menguntungkan kepentingan lembaga/negara pemberi utang tersebut. Dan parahnya, hal ini masih terjadi hingga saat ini (dalam beberapa Undang Undang misalnya migas, batubara, subsidi BBM, komersialisasi pendidikan). Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan asing dan pemodal (kapitalis) memiliki prioritas istimewa dimata pemimpin/presiden ketimbang kepentingan rakyat dan bangsa.

Selain itu, utang bukanlah tanpa bunga. Selama ini, tiap tahun negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk membayar bunga utang yang dihasilkan oleh pemerintahan Soeharto. Selain bunga, kita juga harus membayar cicilan utang yang besarnya hampir sama bahkan lebih kecil dibanding bunga utang-nya. Jika pemerintah saat ini gencar melakukan utang, maka di pemerintahan akan datang, negara kembali disengsarakan dengan cicilan bunga utang yang besar disertai cicilan utang. Lagi-lagi, rakyatlah yang harus menanggung bunga utang beserta cicilannya. Anggaran besar tersedot hanya untuk utang dan bunganya, sedangkan dana untuk pengembangan industri UKM, kesehatan masyarakat, dan penghidupan layak menjadi terkatung-katung.

Dan salah satu poin utama adalah ketika pemerintahan Megawati “keliru” menjual saham-saham strategis seperti Indosat, Telkom, dan Bank-Bank yang memiliki Obligasi Rekap (Utang), SBY-JK kembali melakukan “kekeliruan” dengan tetap membayar ratusan triliun rupiah obligasi rekap (utang) yang sama sekali tidak dirasakan oleh rakyat. Untuk ulasan lengkapnya, silahkan lihat di : SBY atau Mega : Capres Bermental Korup, Bodoh atau Penakut?
Tantangan : Utang Asing dan Kapitalis SUN

Liberalisasi kebijakan ekonomi bangsa ini telah masuk dimasa yang sangat memprihatinkan. Program-progam privatisasi industri strategis, dan penguasaan sumber daya alam oleh asing serta pemilik modal (kapitalis) telah menguasai hak hidup rakyat yang dikemudian hari akan mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan jangaka panjang. Tantangan bangsa Indonesia saat ini bukan saja lembaga asing yang memberi utang luar negeri, namun para pemilik modal yang menguasai aset-aset strategis negara termasuk pemilik inti surat utang negara. Jika dimasa orde baru, para kapital asing mendapat kursi VIP, namun kini kapitalis lokal telah mendapat kursi VIP juga dari pemerintah.

Dan bila pemilik modal terlalu besar menguasai sektor-sektor publik, maka konspirasi pemilik modal akan mempengaruhi ketahanan negara dalam berbagai aspek baik ekonomi, keamanan maupun kebijakan politik. Kita ambil contoh kasus industri rokok yang telah menguasai ekonomi bangsa, sehingga Mitos Industri Rokok Sangat Penting Bagi Negara menjadi “realita” bagi pemerintah. Bukan hanya realita, bahkan perkembangan industri rokok menjadi bagian program ekonomi pemerintah (baca: Industri Rokok Tumbuh Pesat di Pemerintah SBY-JK). Disisi lain hingga pemerintah SBY ini (data 2008 ), alhasil korporasi asing di Indonesia menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia. Inikah pertumbuhan ekonomi yang sangat sehat?

Dan selama mental pemerintah tetap “terjajah” dalam utang, maka lembaga utang luar negeri dan kapitalis/pemodal yang menguasai aset-aset strategis akan menerapkan penjajahan di bidang ekonomi (artinya kebijakan negara akan/sudah tidak independen, disisipin kepentingan pemodal dan asing). Jika mental utang masih dipupuk oleh pemimpin ini, maka generasi penerus kita (10-20 tahun ke depan), akan menerima mimpi-mimpi buruk tersebut. Dan ketika kreditor (asing maupun korporasi) menguasai utang negara, maka sang kreditor akan memaksa pemerintah melakukan privatisasi BUMN strategis, mengurangi subsidi bagi rakyat, membuka jalur distribusi impor bagi masuknya produk-produk dari negara maju, serta menggenjot ekspor produk-produk bahan mentah (batubara, gas, minyak bumi, kayu, silika) ke negara lain ketimbang kebutuhan lokal seperti yang terjadi saat ini……

Akhir kata berhentilah kebijakan-kebijakan utang dan utang lagi.
Dan saya harapkan, ada partai politik yang konsen dengan permasalahan ini, mengubah stereotife bahwa Indonesia adalah negara utang, serta merevisi Undang-Undang baik di masa pemerintah Mega maupun SBY yang merugikan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Dan saya harapkan juga, ada alternatif Capres 2009 yang memiliki visi yang benar dalam pengelolaan ekonomi (angggaran) yang benar, jangan sampai alternatif Capres 2009 juga memiliki mental utang seperti pendahulunya. Ingat, ini adalah tanggung jawab besar bagi para parpol pemenang pemilu dan juga seluruh elemen bangsa ini.

Terima Kasih
ech.nusa – 24 March 2009

Updated – 7 April 2009

Benarkah Kita Butuh Hutang yang Semakin Besar?

Menanggapi komentar rekan-rekan sebangsa dan setanah air, maka saya tambahkan tulisan mengenai apakah benar kita harus meningkatkan hutang setiap tahunnya? Sampai kapan kita berhenti berhutang? Apakah benar bahwa negara membutuh belanja yang besar sehingga anggaran selalu defisit yang disertai utang?

Budaya hutang secara besar-besaran mulai terjadi sejak November 1967, ketika Bung Karno berhasil dijatuhkan dari kursi kepresidenan. Kejatuahan Soekarno yang menjadi musuh kapitalis dan neo-kolonialisme berdampak sangat panjang bagi republik ini. Ketika Soeharto berhasil menggantikan Soekarno, maka lembaga-lembaga keuangan dan organisasi kapitalis dunia seperti IMF, World Bank, CGI (IGGI), London Club, Paris Club, ADB, dan USAID dengan mudah masuk ke Indonesia dengan mendikte kebijakan-kebijakan agar tunduk serta melaksanakan agenda-agenda kepentingan mereka (seperti dilaporkan John Pilgers). Ketika pemerintah Soeharto bersedia menerima utang ala IMF dan CS, maka pada saat bersamaan tim kabinet Pemerintah Soeharto menemui perwakilan negara dan perusahaan asing di Swiss untuk mengobral sumber-sumber kekayaan alam kita dari Gunung Emas dan Tembaga di Papua, Minyak di seantero nusantara, bauksit, timah, hutan. Berdasarkan penelitian (Alm) Prof Soemitro (begawan ekonomi), selama Pemerintah Soeharto hutang meningkat dashyat dengan kebocoran dana hingga 30% dari setiap hutang.

Utang (loan) negara dipelintir dengan kata aid (bantuan). Tiap tahun anggaran defisit puluhan persen, namun pemerintah Soeharto mengatakan anggaran berimbang dengan mencantumkan hutang sebagai sumber pendapatan negara. Dengan hutang jangka panjang, pemerintah tidak perlu berusaha keras membangun kemandirian bangsa dan mentriger pembangunan SDM yang memadai untuk menutupi anggaran, toh.. pendapatan ala hutang sudah dikantongin. Sumber kekayaan alam dijual mentah-mentah, lalu kita terpaksa membeli hasil olahan sumber daya alam kita dari asing. Begitulah seterusnya. Meskipun IMF, WB, Amrik memberi hutang, namun pada faktanya mereka sama sekali tidak mengeluarkan uang. Karena perusahaan-perusahaan mereka mendapat jatah alam di Indonesia lalu mengolahnya menjadi barang jadi, lalu kita mengimpor barang jadi tersebut dengan hutang. Inilah porsi terbesar cash flow hutang kita, yakni kembali lagi ke negara penghutang.

Alhasil, krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Hutang yang telah ditumpuk pada masa pemerintah Orba kini meledak. Cadangan devisa anjlok, nilai rupiah terjun bebas, inflasi meroket diatas 50%, terjadilah reformasi. Dan untungnya di masa Pemerintahan Habibie, Habibie mampu menstabilkan dan memulihkan secara bertahap keadaan ekonomi tersebut dalam waktu 512 hari. Namun sejak kejatuhan orba, tiap tahun negara terpaksa menganggarkan puluhan triliun untuk membayar hutang era Soeharto. Sehingga berimplikasi pada dana untuk pendidikan, kesehatan, kesejehteraan masyarakat “disunat”, alhasil kemiskinan dan pengangguran sulit diatasi. Indonesia yang kaya dengan alam dan manusianya, akhirnya tetap harus miskin ditengah kekayaannya. Karena hutang telah menjerat anggaran, karena hutang telah memenjara kebijakan yang pro-asing, pro-kapitalis.

Bagaimana sekarang?

Anggaran kita naik dari 370 triliun pada tahun 2004 menjadi lebih 1000 triliun di tahun 2009. Dengan hubungan kausal, maka peningkatan anggaran yang hampir 3x lebih besar, maka sudah seharusnya negara mampu meningkatkan kesejahteran masyarakat minimal 1.5 kali lipat. Benar, bahwa negara telah meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi tunggu dulu….rakyat yang mana? Oke, rakyat yang dimaksud adalah pengusaha kaya. Pengusaha kaya semakin kaya, bahkan angka-angka yang ditunjukkan Forbes di tahun 2005 dengan 2008 sangat mengejutkan. Jumlah kekayaan orang-orang terkaya Indonesia pada tahun 2008 naik tidak kurang sama dengan pertumbuhan APBN yakni 300% dibanding 2004.

Namun, jumlah penduduk miskin tidak berkurang dan malah bertambah. Di tahun 2004 saja, jumlah penduduk miskin mencapai 35.9 juta, namun akhir Desember 2008 mencapai tidak kurang 40 juta. Bukannya turun, namun naik. Hal ini menambah disparitas antara miskin-kaya yang semakin besar. Sehingga timbul tanda tanya besar, apakah pengelolaan anggaran APBN sudah tepat sasaran? Benarkah anggaran APBN tidak mengalami kebocoran? Benarkah anggaran APBN sudah efisien?

Selain anggaran ketat, Amerika CS melalui lembaga keuangannya mendikte 3 kebijakan ekonomi utama lainnya yakni meliberalisasi keuangan, meliberalisasi industri dan perdagangan, dan melakukan privatisasi. Maka, bukan hal yang tidak mungkin bahwa kebijakan anggaran kita masih didikte oleh Amerika CS. Berbagai subsidi telah dihapus, mulai dari BBM hingga Pendidikan via UU BHP. Lembaga keuangan sudah sangat liberal. Industri dan perdagangan pun sudah banyak diliberalisasi. Dan terakhir, berbagai BUMN pun menjadi agenda privatisasi.

Disamping itu, masih tertanamnya mental korupsi (meskipun KPK telah berunjuk gigi), dimana berita-berita penangkapan koruptor masih menghiasai media massa hingga saat ini. Sehingga laporan KPK pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa salah satu sumber kerugian keuangan negara terbesar adalah kebocoran APBN. KPK mencontohkan bahwa pada tahun 2004 saja, kebocoran anggaran APBN mencapai 30%. Pada tahun 2005, masih banyak mark up anggaran dalam pengadaan proyek yang tidak masuk akal. Seperti tahun 2004, di tahun 2005 saja untuk pengadaan PC (komputer) dianggarkan 15 juta per unit, padahal harga pasaran cuman Rp 5 jutaan per unit. Angka mark-up yang terlalu besar untuk ditenderkan.

Hal senada dilaporkan ICW pada tahun 2006 dan 2007 terjadi kebocoran APBN. Dan jika kita membaca dokumen Audit BPK, maka sebagian besar Audit kepada instansi anggaran kementrian dengan hasil disclaimer (tanpa opini). Dan bila kita lihat poin per poin penelusuran audit, maka terjadi penyimpangan pengunaan anggaran yang tidak seharusnya dilakukan pihak kementeriaan (lihat di bpk.go.id). Sumber-sumber penyimpangan dana ditambah mark-up pengadaan proyek yang terlalu besar serta “uang keringat” pada pengadaan proyek yang telah dimark up sudah menjadi rahasia umum. Yang tertangkap oleh KPK hanyalah fenomena gunung es dengan angka korupsi yang besar.

Jika saja, pemerintah dengan tegas dan berani menganggarkan APBN yang efisien yakni mengurangi mark-up sebesar 5-10%, dan mengurangi kebocoran sebesar 2-5%, maka seharusnya belanja negara dapat dihemat 7-15% per tahun. (cara pertama : pelajari dari audit BPK mengapa bisa terjadi kebocoran, lalu kirim “intel-intel” di setiap departemen, serta melakukan sistem komputerisasi administrasi layanan publik dan komputerisasi realtime anggaran) Angka persentase ini untuk anggaran 1000 triliun mencapai 70 hingga 150 triliun. Angka 70 triliun masih jauh lebih besar dibanding angka hutang luar negeri kita yakni 60 triliun pertahun. Sisa efisien anggaran dapat digunakan untuk mengurangi utang dalam negeri. Selain itu, untuk peningkatan pendapatan negara, maka kita dapat mengurangi pencurian kekayaan laut yang mencapai 40 triliun per tahun (2007) disisi lain kita memanfaatkan kekayaan laut dengan meningkatkan pendapatan sebesar 40-50 triliun dari laut. Begitu juga jangan mengekspor secara besar-besaran cadangan batubara kita (menjadi pengekspor terbesar), namun batubara digunakan untuk menyuplai listrik dengan harga murah bagi industri UKM. Industri UKM akan bergairah serta secara tidak langsung meningkatkan perekonomian rakyat kecil. Begitu juga pada berbagai komoditi perkebunan seperti sawit dan karet. Untuk sawit, jangan jual sawit mentah. Gunakan anggaran untuk membangun pabrik-pabrik lokal (UKM) untuk mengolah sawit menjadi CPO dan selanjutnya diolah lebih lanjut untuk meningkatkan value.

Dan terakhir, harusnya Indonesia dapat meniru negara-negara yang berani mengambil kebijakan ekonomi yang independen dan tidak harus jadi perpanjangan tangan kepentingan ekonomi AS. Contoh saja China yang tetap menolak melakukan liberalisasi di sektor keuangan. Meskipun saat ini mempunyai cadangan devisa US$ 2 triliun, China lebih memprioritaskan penguatan sektor riil, yakni industri, pertanian, dan produk-produk ekspor.

Indonesia memiliki potensi untuk melakukan ini karena sumber daya alam dan sumber daya manusia yang besar. Dengan etikad dan inovasi yang baik pemimpin ini, maka kekayaan alam Indonesia seperti minyak mentah, gas alam (pengekspor terbesar ke-2), emas, batubara, timah, tembaga, emas, karet, sawit, beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan masih banyak lagi mampu untuk berdirikari. Ayo…Jepang saja yang miskin dengan kekayaan alam, kok mampu menjadi pemberi utang yang besar kepada Indonesia selama beberapa dekade (saat ini menjadi kreditor utang terbesar untuk Indonesia).

Semoga pelajaran sejarah masa orde baru hingga saat ini dapat membuat bangsa kita bangkit. Dan semoga pemerintah saat ini dan juga para calon pemimpin masa akan datang baik di legislatif maupun eksekutif mau berubah dan harus berani serta mandiri dalam mengambil kebijakan. Harus berani berdirikari dan tidak bergantung terus pada hutang dan asing. Restrukturisasi anggaran APBN yang efisien agar tidak bocor. Yakinlah, bahwa alam dan manusia Indonesia mampu! Kita mampun duduk sejajar dengan bangsa lain. Kita mampu melakukan kerjasama ekonomi yang terhormat dengan negara manapun tanpa harus mengikuti desakan bangsa lain untuk meminta kita melakukan privatisasi, liberilasisi, dan lain-lain. Hentikan skandal-skandal penguasa-pengusaha. Dan hentikan kebijakan politis yang mementingkan partai, popularitas, kepentingan asing, dan pengusaha yang menomorduakan kepentingan rakyat kecil agar mereka tidak miskin lagi.
Kabar dari Media

Saya bersyukur, akhirnya pada tanggal 4 April 2009, salah satu media massa terbesar Indonesia yakni Media Indonesia memberitakan jumlah utang Indonesia. Judul beritanya adalah Utang Negara 2004-2009 Melejit Rp 920 Triliun (silahkan klik link biru) yang disampaikan oleh Koalisi Anti Utang Indonesia. Informasinya beritanya tidak jauh berbeda dengan postingan ini.

Dan mulai pertengahan April, Koalisi Anti Utang juga mengangkat utang 1667 Triliun ke media. Dan sejak akhir Mei 2009, masalah utang ini telah menjadi perhatian publik setelah beberapa capres mengangkat isu ini. Setidak-tidaknya, salah satu hasrat saya menulis mengenai fakta utang telah tersalurkan. Sekarang, saya berharap ada pihak/media yang mengangkat isu baru yakni “utang najis”. Hm…bisa-bisa justru ada segelintir pemilik media yang merasakan ‘utang najis’?

Ulasan bagaimana efisiensi dan mekanisme Utang Luar Negeri dan Globalisasi yang menjerus lingkarn setan utang oleh jurnalis John Pilger dapat dibaca di : John Pilgers – Sang Penguasa Dunia Baru di Indonesia.

sumber:
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/03/24/fakta-fakta-tersembunyi-sby-jk-3-utang-negara-membengkak-1667-triliun/

Tidak ada komentar: