Sampaikanlah walau satu ayat Al-Qur'an Online

Rabu, 22 April 2009

Darurat, Perppu Capres Tunggal


INILAH.COM, Jakarta - Rencana pemboikotan Pemilu Presiden oleh kubu Teuku Umar tampaknya akan berbuntut serius terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika tak hati-hati meresponsnya, justru akan menjatuhkan negeri ini ke dalam kubangan krisis konstitusi.

Ancaman untuk tidak berpartispasi dalam Pilpres 8 Juli mendatang oleh kelompok Teuku Umar yang dimotori oleh PDIP tampaknya bukanlah ancaman yang biasa. Karena, jika hal tersebut terjadi, kondisi tersebut menjadi persoalan serius dalam sistem ketatanegaran Indonesia.


Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, jika kondisinya hanya terjadi satu calon pasang pada Pilpres dan KPU tidak bisa menerima satu calon saja, maka presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu).

Karenanya, sangat absah bagi presiden untuk mengeluarkan perppu, yang mengubah aturan pencalonan presiden di dalam UU Pilpres, sehingga kondisi hanya ada satu pasangan capres, terantisipasi, katanya kepada INILAH.COM, Rabu (22/4) di Jakarta.

Menurut Denny, perppu menjadi penting terkait dengan prinsip tidak boleh terjadi kekosongan kekuasaan meski sedetik pun. Prinsipnya, tidak boleh ada kekosongan kekuasaan sedetik pun, cetusnya.

Kendati demikian, menurut Denny, substansi materi perppu dapat dibicarakan dengan kekuatan partai politik di parlemen. Walaupun, kewenangan akhir keluarnya perppu tetap berada di tangan presiden.

Menanggapi wacana itu, pengamat hukum tata negara Andi Irman Putra Sidin menilai, perppu hanya bisa muncul jika bertujuan untuk menurunkan persyaratan pencapresan. Perppu hanya muncul untuk memberi ruang agar muncul capres. Seperti penurunan persyaratan capres dari 20% menjadi 0%, katanya.

Menurut dia, justru perppu akan inkonstitusional jika untuk mengukuhkan capres tunggal. Eksistensi perppu justru untuk memberi ruang baru bagi calon presiden muncul.

Sementara mantan Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Presiden, Yassona H Laoly menentang keras rencana penerbitan perppu terkait dengan capres tunggal. Politisi PDIP tersebut menilai, munculnya perppu hanya bentuk kepanikan pemerintah. Itu bentuk kepanikan pemerintah saja, cetusnya.

Menurut Laoly, jika pemerintah bersikeras mengeluarkan perppu capres tunggal maka, hal tersebut sebagai langkah inkonstitusional. Menurut dia, dalam UU Pemilu Presiden/Wakil Presiden, bahkan jika terdapat pasangan calon yang meninggal dunia, maka harus dipaksakan untuk menggantinya.

Sementara pengamat hukum Univeristas 45 Makassar Marwan Mas menilai jika perppu terwujud, justru pemerintah mengabaikan susbtansi persoalan daftar pemilih tetap (DPT). Kita jangan terjebak pada agenda ketatanegaraan yang tanggalnya harus ada presiden. Tapi kita mengacu pada substansi kecurangan demokrasi seperti Orde Baru, terangnya.

Lebih baik, saran Marwan, pemerintah mengeluarkan saja perppu penundaan. Tuntaskan dulu kecurangan-kecurangan yang diminta oleh banyak pihak. Dari pada tahun 2014 nanti akan kacau juga, lebih baik kita selesaikan dulu. Tunda Pilpres dengan perppu. Jangan perppu untuk jadikan capres tunggal! tandasnya.

Pesan politik dari kubu Teuku Umar untuk tidak turut berpartisipasi dalam pemilu presiden hakikatnya cukup jelas, di antaranya meminta pencopotan anggota KPU, meminta pemantau asing dalam pemilu presiden, serta menyelesaikan persoalan DPT yang masih bermasalah. Pemerintah harus hati-hati dalam mengeluarkan perppu terkait upaya rencana boikot dalam pemilu presiden. Karena pokok persoalannya adalah memperbaiki kisruh DPT. [I4]

sumber:
http://inilah.com/berita/politik/2009/04/22/100962/perppu-capres-tunggal-mana-bisa/

Tidak ada komentar: