Sampaikanlah walau satu ayat Al-Qur'an Online

Rabu, 24 Desember 2008

Sistem Nomor Urut Caleg Dihapus MK


Sistem nomor urut dalam UU Pemilu dihapus dan caleg terpilih didasarkan dengan perolehan suara terbanyak.
Sebuah "kado pahit" dari Mahkamah Konstitusi bagi politisi senior yang selama ini senantiasa mengandalkan kedekatannya (senioritas, finansial, nepotisme dll) dengan parpol dimana dia berasal.
Di satu sisi, putusan MK memang menyesakkan dada para elit sepuh yang terbiasa enak-enakan menerima limpahan suara. Tetapi di sisi lain, sikap MK itu memberi peluang bagi caleg-caleg muda untuk memaksimalkan masa kampanye. Setidaknya harapan untuk dapat memenangi kompetisi terbuka lebar.



Mahkamah Konstitusi menghapuskan sistem nomor urut seperti yang diatur dalam Pasal 214 Huruf a, b, c, d, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD melalui pembacaan putusan di Gedung MK Jakarta, Selasa (23/12). Dengan demikian, sistem suara terbanyak akan menjadi rujukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menentukan pemenang pemilu legislatif.

Majelis hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Mahfud MD menilai, pasal tersebut hanya menguntungkan para caleg yang duduk di nomor urut terkecil. Ketentuan itu juga merugikan caleg dengan nomor urut besar. Sebab, caleg dengan nomor urut besar harus bekerja sangat keras untuk memperoleh suara 30 persen atau lebih.

Kalau pun akhirnya caleg dengan nomor urut besar bisa meraih suara 30 persen atau lebih, dia belum tentu bisa mendapatkan kursi di DPR/DPRD kalau caleg dengan nomor urut lebih kecil juga mendapatkan jumlah suara yang sama.

"Menurut mahkamah, Pasal 214 Huruf a, b, c, d, e yang menentukan pemenang adalah yang memiliki suara di atas 30 persen dan menduduki nomor urut lebih kecil adalah inskontitusional, bertentangan dengan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945," tutur Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.

Pasal ini dinilai tidak adil karena mengandung standar ganda yang memaksakan pemberlakuan hukum yang berbeda dalam kondisi yang sama. Menurut MK, partai politik memang harus diberi batasan yang jelas bahwa dalam menentukan caleg, partai tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat sehingga dilaksanakanlah sistem proporsional terbuka yang menunjukkan keinginan rakyat untuk memilih langsung wakil-wakilnya yang diajukan oleh parpol.

MK juga menegaskan bahwa dengan dihapuskannya kekuatan hukum pasal ini bukan berarti menimbulkan kekosongan hukum. Walaupun tanpa revisi UU maupun pembentukan peraturan pemerintah, keputusan MK berlaku sebagai hukum.

Dalam kesempatan yang sama, MK juga memutuskan tetap mempertahankan DPR, DPD, dan DPRD, serta memutuskan untuk mempertahankan ketentuan kuota perempuan sebesar 30 persen dan zipper system yang mengharuskan terdapat sekurang-kurangnya satu perempuan bakal calon pada setiap tiga orang di daftar bakal calon, seperti yang diatur dalam Pasal 55 Ayat (2) UU Pemilu.

KPU sendiri mengaku siap untuk menjalankan putusan MK. Rujukan hukum ini nantinya akan dijadikan KPU sebagai payung hukum dalam menjalankan pemilu.

"KPU akan mengacu dan melaksanakan putusan MK. Itu tidak akan mempengaruhi kerja-kerja KPU," ujar anggota KPU Andi Nurpatti.

(sumber:http://www.indonesiamemilih.com/read/xml/2008/12/23/17133313/MK.Hapus.Sistem.Nomor.Urut. dan http://inilah.com/berita/politik/2008/12/24/70997/kado-pahit-mk-untuk-elit-gaek/)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dengan sistem Suara terbanyak setidaknya menjaga ruang demokrasi dan reformasi yang telah ada di Indonesia