Masih segar dalam ingatan kita saat-saat akhir penyerahan berkas bacaleg dari seluruh partai politik peserta pemilu 2009 ke KPU banyak mengalami kendala dalam mencantumkan nama wakilnya.
Timbul beberapa ketidakpuasan dari kader-kader inti parpol yang menengarai telah terjadi manuver politik yang dilakukan oleh petinggi partainya sendiri.
Hal ini semakin mengerucut manakala muncul nama-nama caleg yang menempati posisi jadi diluar nama kader partai tersebut.
Di tingkat nasional, euphoria artis yang diusung oleh partai politik menjadi begitu heboh, sebagaimana halnya dengan PAN mengusung 18 nama caleg yang berasal dari kalangan selebritis, juga PPP dan tidak ketinggalan Partai Golkar dan lain sebagainya.
Menurut beberapa pengamat, hal itu terjadi akibat partai politik tidak dapat menjalankan kaderisasi di dalam internal organisasinya. Hal ini akan menimbulkan preseden negatif dan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup partai yang bersangkutan karena partai politik dapat tetap eksis jika proses kaderisasi berjalan dengan baik.
Walau pada awalnya dapat diredam, namun akhirnya rasa ketidakpuasan kian meluas di tingkat kader partai masing-masing - mengungkapkan rasa prihatin karena terjadinya fenomena semacam itu. Seharusnya, partai mengakomodir kader-kadernya yang telah berjuang dari bawah bukannya justru memasang nama-nama yang bahkan belum 6 bulan berada dalam tubuh partai tersebut.
Kader PAN misalnya, mereka mempermasalahkan kondisi semacam itu kepada SB dan Amien Rais, aalagi dengan pemberlakuan penomeran yang mengutamakan foreigner (pendatang baru). Tidak ketinggalan organisasi sayap PPP - Pemuda Ka'bah yang meminta penjelasan kepada petinggi DPP PPP terkait penempatan mereka dinomer sepatu bagi bacaleg dari organisasi ini.
Walau bagi sebagian parpol hal ini telah diantisipasi dengan mengatakan bahwa partai mereka menganut suara terbanyak, namun hal ini menurut penulis adalah merupakan rekayasa tingkat tinggi dari parpol untuk tetap mengikat kader-kadernya agar tidak lari.
Dalam UU Pemilu sendiri telah dijelaskan secara gamblang, bahwa metode yang digunakan dalam pemilu tahun 2008 adalah dengan Sistem Proorsional Tertutup dan hal itu menunjuk bahwa perolehan kursi bagi anggota legislatif adalah berdasarkan NOMER URUT bukan suara terbanyak.
Dikhawatirkan apabila parpol tetap ngotot memberlakukan menurut suara terbanyak bagi calegnya, langkah ini tidak memiliki kekuatan hukum yang legal-formal, artinya dapat dituntut oleh caleg dengan nomer urut diatasnya. Meskipun secara internal partai telah dilakukan deal-deal politik antara caleg-caleg namun belum dapat menjamin hal itu dapat berjalan dengan mulus, apalagi sumber hukum tertinggi yang mengikat pelaksanaan pemilu tahun 2009 adalah UU Pemilu no:10 tahun 2008.
Jika ingin menerapkan suara terbanyak, mengapa dalam perumusan RUU Pemilu dahulu TIDAK dilakukan hal-hal tersebut? ada apa dibalik itu semua? Atau jika memang perlu, mengapa DPR tidak segera melakukan revisi terhadap UU Pemilu No:10 Tahun 2008 terkhusus pasal yang bersangkutan?
Fastabiqul Khairat, Wallahu Musta'an
Selasa, 26 Agustus 2008
Partai Politik mengalami Krisis Kaderisasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar