Sampaikanlah walau satu ayat Al-Qur'an Online

Sabtu, 19 Juli 2008

Siapa Bakal Tergerus PMB: PKS atau PAN ?




Dari awal nama PMB sudah mengundang beragam interpretasi baru. Secara berseloroh, Amien Rais pernah bilang idiom "Matahari Bangsa" merupakan comotan dari lagu perjuangannya PAN.

Yang lain menyebutnya sebagai "Partai Muhammadiyah Beneran". Ini seolah-olah hendak membangun demarkasi adanya "partai Muhammadiyah" yang aspal. Kalau memakai ungkapan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang aspal itu adalah parpol yang berkhianat kepada Muhammadiyah.



Meski tak ada yang menyebut secara terang benderang, pastilah yang dimaksud Partai Amanat Nasional. PAN yang awalnya digadang-gadang bakal menjadi matahari bagi warga Muhammadiyah, dalam perjalanan sinarnya diyakini tak lagi menghangatkan Muhammadiyah.

Ketegangan itu bermula dari kegagalan PAN memberi tempat secara wajar pada kader-kader Muhammadiyah. Tapi, ada yang menyebut bahwa ketegangan itu sejatinya bersumber di dua tempat.

Pertama, ketegangan antara Muhammadiyah. Maksudnya antara mereka yang aktif dalam organisasi-organisasi Muhammadiyah dengan mereka yang mempunyai "darah" Muhammadiyah tapi tak aktif dalam organisasi.
Kedua, adalah ketegangan antara mereka yang berkultur Muhammadiyah dengan mereka yang bukan.

Pada mulanya, percampuran antar unsur itu diyakini bakal menjadi amunisi PAN menerangi republik. Yang terjadi, justru menjadi bibit persengketaan dan juga kecurigaan di lingkungan internal. Satu pihak menganggap PAN telah terbajak. Pihak lain bersikeras PAN telah mengingkari semangat awalnya didirikan.

Ketegangan ini berakhir secara diam-diam. Di satu sisi Muhammadiyah semakin menegaskan garis demarkasi dengan PAN, terutama sekali setelah dipimpin oleh Din Syamsuddin. Sebagian meminggirkan diri karena merasa tak dikehendaki lagi. Dalam situasi seperti itulah, kaum muda di Muhammadiyah bermanuver membentuk PMB. Bagi mereka, ini adalah keharusan sejarah.

Pada awalnya, kehadiran PMB juga dipandang sebelah mata. Maklum, partai ini tak mengusung nama-nama beken. Sudah begitu, secara keorganisasian, Muhammadiyah dan juga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah juga pernah menyatakan tak ada sangkut pautnya dengan PMB. Secara politik ini bisa dipahami. Ketika itu, tak ada yang yakin PMB bakal lolos menjadi peserta pemilu.

Setelah Lolos verifikasi faktual, PMB diyakini bakal menjadi ancaman yang nyata. Hanya saja masih belum jelas, siapa yang bakal tergerus oleh kehadiran PMB?

Makin Jengkel Kepada SB
Sebagian kalangan meyakini, PMB bakal menjadi matahari baru bagi Muhammadiyah. Bilamana sinar itu menemukan tipping point-nya, hanya tinggal menunggu waktu gelombang dukungan warga Muhammadiyah bakal mengalir. Apalagi, angin dukungan dari elit-elit Muhammadiyah juga telah bersemi. "Kalau kemarin seperti tak mendukung, sepertinya para elit itu pingin tahu dulu tingkat keseriusan mereka," kata seorang pengamat politik baru-baru ini.

Keinginan menjadikan PMB sinar baru bagi warga Muhammadiyah tak lepas dari "kejengkelan" yang semakin menguat kepada PAN yang dipimpin Soetrisno Bachir. Kebetulan, ada cukup banyak alasan untuk merasa jengkel.

Yang paling pertama, SB tak juga menunjukkan itikad baiknya untuk merangkul Muhammadiyah. Ada anggapan, SB menganggap dukungan Muhammadiyah kepada PAN sudah seharusnya sebagaimana NU harus membopong PKB, apapun situasinya.

Yang kedua, ada keberatan menyangkut watak PAN yang semakin bernuansa saudagar. Semangat yang mencuat terlihat seperti sibuk "dengan diri sendiri". Dalam hal ini seperti melupakan kewajiban menyinari masyarakat luas.

Yang ketiga, menyangkut gosip-gosip seputar SB sendiri. Selain soal personal, kedekatan SB dengan Aburizal Bakrie juga mulai dianggap sebagai masalah. Gosip soal ini kembali menghangat setelah sebuah majalah ekonomi menulis kisah investasi soal air dengan tajuk "Hidup adalah dagang air".

Dalam tulisan itu, SB disebut-sebut ada dibalik sebuah perusahaan asing yang berbisnis air bersih di Jakarta. Dan, patner lokal dari perusahaan air itu tak lain adalah salah satu perusahaannya Bakrie. Kedekatan antara keduanya dikhawatirkan bakal menjadikan PAN sekadar "barang dagangan" belaka.

Jika elit-elit terkemuka Muhammadiyah mulai menyerukan nama PMB, PAN memang bakal menghadapi masalah meski hingga kini berkoar PMB hanyalah riak-riak belaka. Meski begitu, PAN masih punya senjata akhir berupa Daftar Caleg. Kalau mereka memberi porsi yang wajar ke kalangan Muhammadiyah organisatoris, barangkali kejengkelan itu bisa sedikit diredam. Tapi, resikonya, faksi yang non organisatoris bakal kecewa. "Daftar Caleg itu tak bakal mampu mengobati luka,"kata seorang pengamat.

Jangan Meniru PKS
Yang menarik, sejatinya, tak hanya PAN yang patut ketar-ketir. Soalnya, PMB juga bisa memikat simpatisan PKS yang mulai kecewa dengan manuver elit partai ini. Modal untuk menggerus PKS bukannya pula tak ada. Sebagian pengurus PMB adalah kader-kader PKS yang memilih hengkang karena tak tahan dengan pilihan-pilihan praktis PKS.

Tapi, di titik ini pula, nasib PMB bakal ditentukan. Yaitu, kemampuannya untuk memberi janji yang tepat ke target pemilihnya. Dalam hal ini, PMB perlu membentangkan wacana dan bahasa yang berbeda dengan PKS.

Soalnya, simpatisan non ideologis PKS sejatinya tak terlalu mengerti dengan idiom-idiom berbahasa arab yang dikerap digunakan kader-kader PKS. Mereka memilih PKS karena melihat ada semangat menciptakan kebaikan umum di republik ini. Jadi, PMB perlu mengemas bahasa politiknya sebagaimana sebagian besar muslim modern berwacana. Tak mesti memamerkan bahasa arab, namun esensinya tetap sama.

Dalam hal ini, bahasa arab hanyalah sebagai penjelas sebagaimana halnya penggunaan istilah bahasa Inggris agar jelas maksud yang hendak dirujuknya dan bukan sebaliknya penyebutan bahasa Indonesia sekadar sebagai terjemahan belaka. Jika meniru gaya PKS, PMB hanya bakal menuai angin. "Daripada meniru PKS, lebih baik PMB mengidentifikasikan diri sebagai Masyumi Beneran," kata seorang konsultan politik.

Dan kunci utamanya adalah memberi pengkabaran mengenai adanya semangat menciptakan kebaikan umum. Secara lebih praktis, PMB juga bisa "berkecap" ria menjual ikon kemudaannya. Kebetulan ini adalah energi yang mulai menghilang dari aura PKS ataupun PAN. Kemudaan tak sekadar menyangkut usia, tapi juga dalam soal gagasan.

Tapi, pastinya, mereka sama sekali tak bermaksud untuk mendorong mereka yang selama ini beteriak-teriak soal kepemimpin kaum muda untuk datang berhimpun. Soalnya, meski tak terkatakan, ada lubang menganga di antara mereka. Bisa jadi karena memang tak pernah bertegur sapa. Kalau tak kenal, tentu saja tak paham, bukan? Di luar itu, PMB masih sangat mungkin menjaring pemilih muda yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Intinya, PMB perlu mengemas diri dalam kategori baru: bukan pecahan PAN dan bukan imitasi lain dari PKS. Secara berseloroh, seorang konsultan politik pernah bilang, lebih asyik PMB menakbirkan diri sebagai "Partai Masyumi Baru". Kebetulan, pewaris Masyumi lainnya, PBB, juga semakin ditinggalkan oleh mereka yang merasa teduh dibawah lindungan Masyumi 1955. Hm... (berpolitik.com)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya memiliki buku AD/ART PMB, diberi dari teman. banyak istilah2 arabnya. :)