Sampaikanlah walau satu ayat Al-Qur'an Online

Senin, 23 November 2009

Gejala Neo KKN Kembali Menguat


YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Muhammadiyah memandang gejala-gejala baru korupsi, kolusi, dan nepotisme atau neo-KKN menunjukkan tanda-tanda menguat kembali. Begitu pula orientasi kekuasaan yang mengarah pada bentuk otoritarianisme baru dengan sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan pada satu pihak. Munculnya gejala neo-KKN ini menjadi salah satu dari lima butir isi refleksi milad 100 tahun Muhammadiyah bertajuk "Berkiprah Tak Kenal Lelah Mendidik dan Mencerahkan Bangsa Menuju Peradaban Utama" yang disampaikan Pengurus Pusat Muhammadiyah kepada pers, Senin (23/11) di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta. Tanggal 25 November atau 8 Dzulhijah 1430 H tepat 100 tahun usia Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, 8 November 1912/8 Dzulhijah 1330 H.
Menurut salah satu Ketua PP Muhammdiyah Haedar Nasir, gejala-gejala menguatnya kembali KKN bisa terlihat dalam proses pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan anggota legislatif. Dalam ajang itu tampak sekali bagaimana keterlibatan kerabat dan kroni yang sengaja dimunculkan.

Kemunculan anggota keluarga dalam kancah politik sebenarnya tidak menjadi persoalan jika yang bersangkutan secara kualitas menguasai dunia politik. Sebaliknya, jika kemunculan keluarga atau kroni tidak didasarkan pada kemampuan, kualitas obyektif, dan hal-hal yang bisa dipertanggungjawabkan maka itu sudah masuk KKN.

"Salah satu bagian dari peran reformasi kita adalah pemberantasan KKN. Ia menjadi sendi dasar bangsa. Jika KKN ini tidak dihilangkan maka agenda reformasi, reformasi birokrasi tidak bisa jalan," ujar Haedar.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan, selain neo-KKN ada hal yang tak kalah buruk, yakni orientasi kekuasaan yang mengarah pada bentuk otoritarianisme baru. Kondisi ini mampu membuat mati suri proses demokrasi.

"Dalam otoritarianisme kekuasaan dan politik kurang diabdikan untuk kepentingan rakyat. Kekuasaan lebih diabdikan untuk kepentingan politikus, baik untuk berkuasa maupun melanggengkan kekuasaan. Gejala neo-KKN dan neo-otoritarianisme ini berbahaya untuk masa depan bangsa," ujad Din.

Dalam refleksi tersebut, Muhammadiyah memandang penting adanya rekonstruksi visi dan karakter di tubuh bangsa demi keberlangsungan dan masa depan Indonesia. Pemberantasan korupsi hendaknya dilakukan secara tegas, berani, dan tidak tebang pilih. Hukum harus ditegakkan dengan tegas, sistemik, memenuhi rasa keadilan, serta tidak terjebak pada logika legal-formal yang memberi ruang leluasa bagi para mafia, pejabat korup, makelar kasus, dan koruptor untuk memainkan celah hukum.

Pada butir yang lain, Muhammadiyah mengajak seluruh warga memiliki visi dan karakter yang berbasis kebudayaan Indonesia, mengembangkan budaya religius dan hidup rukun. Muhammadiyah mengharapkan segenap anak bangsa, termasuk pejabat, memanfaatkan amanat rakyat.

Muhammadiyah juga mensyukuri satu abad usianya sebagai karunia Tuhan dan menjadikan usia 100 tahun ini menjadi momentum penguatan gerakan (revitalisasi) untuk memperbaiki, menyempurnakan, dan mengembangkan seluruh potensi dan infrastruktur gerakan agar mampu berkiprah lebih optimal.

Memasuki perjalanannya 100 tahun ke depan, Muhammadiyah bertekad mengembangkan pembaruan fase kedua. Pada babak baru itu Muhammadiyah melakukan transformasi gerakan untuk menawarkan pemikiran alternatif, dinamisasi masyarakat madani yang semakin otonom dan bermoral utama, mengembangkan basis kekuatan ekonomi, penguatan gerakan perempuan, dan reformasi amal usaha yang bertumpu pada sistem organisasi modern, progresif, dan mandiri.

sumber:
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/11/23/19185264/Muhammadiyah.Gejala.Neo-KKN.Kembali.Menguat

Tidak ada komentar: