Telah beberapa minggu ini mata dan telinga kita disibukkan dengan pelbagai isue dan pemberitaan demi pemberitaan mengenai program konversi minyak tanah, kenaikan BBM, demo anti kenaikan BBM, BLT, tindakan represif aparat, pemadaman PLN yang mengakibatkan kerugian rakyat milyaran rupiah dan terakhir "kekerasan" di bilangan silang Monas.
Dikabupaten Klaten mulai digalakkan kembali program konversi minyak tanah yang sedikit banyak membawa dampak bagi kehidupan rakyat.
Yang menjadi permasalahan adalah mengenai nasib pangkalan minyak, yang kemudian diarahkan untuk menjadi pangkalan LPG.
Apabila pemerintah memang berkeinginan mengalihkan konsumsi minyak tanah rakyat, sudah tepat dan sewajarnyalah jika rakyat memperoleh tabung beserta kompor gas. Namun yang mungkin luput dari kalkulasi dan asumsi pemerintah adalah, bahwa pihak pangkalan yang akan terpukul dengan perlakuan TIDAK ADIL dari pemerintah.
Sebagai contoh, sebuah usaha kecil atau KUD yang menjadi pangkalan minyak tanah, sebelum program konversi diberlakukan oleh pemerintah - dari uang yang mereka alokasikan untuk membelian minyak tanah, setelah dijajakan selama 1 s/d 3 hari, maka hasil penjualan akan langsung dapat mereka kumpulkan dan uang tersebut jelas akan diputar untuk pengadan barang lainnya sehingga sirkulasi keuangan mereka tetap berjalan lancar.
Namun jika bahwa pangkalan diharuskan memiliki stock tabung gas @3 kg minimal 20 buah dimana harga per tabungnya mencapai Rp.150.000,-. maka pangkalan HARUS mengeluarkan uang senilai Rp.3.000.000,-. Yang seharusnya uang tersebut dapat diputar untuk pengadaan barang lainnya justru akan TERHENTI.
Kemudian, apakah setiap hari mereka dapat menjual 1 tabung yang akan dibanderol dengan harga Rp.13.000 s/d 14.000,-? belum lagi supply gas yang tidak teratur sebagaimana terjadi dibeberapa daerah di tanah air.
Hal ini memang perlu pembuktian dilapangan tapi setidaknya dengan semakin melemahnya daya beli rakyat akan membawa dampak yang besar bagi para pangkalan tersebut.
Apabila uang yang merupakan MODAL usaha itu terpakai untuk pembelian tabung gas, maka kelanjutan nasib bagi pangkalan-pangkalan tersebut dapat kita terka dengan tepat, yaitu tinggal MENUNGGU HARI UNTUK MATI.
Jika boleh merenung sejenak, apakah tabung yang notabene adalah BESI seberat 5 kg memiliki nilai ekonomis setinggi itu???
ini bukan KELAKAR ataupun sejenis GUYON!!!
COBALAH KITA BERFIKIR RASIONAL
Cobalah kita luangkan waktu, dengan mengendarai motor atau bersepeda menuju kearah baratdaya kecamatan Pedan - ke daerah Batur Jaya yang merupakan sentra industri logam dan bertanya berapa harga besi untuk 1 kg.
Jawaban yang anda peroleh pasti akan membuat anda tercengang, di bawah Rp.10.000/ kg - PERCAYALAH!
Lantas yang menjadi pertanyaan, seberapa besar biaya produksi dari tabung itu sendiri?
Dari sedikit tulisan KONYOL diatas mungkin dapat kita petik hikmahnya bahwa saat ini memang tidak terbersit keinginan dari pemerintah untuk memakmurkan rakyatnya, terlihat adanya diskriminasi antara pengguna LPG dengan pemasok di tingkat kecamatan.
Sabtu, 07 Juni 2008
KONVERSI LPG, Matikan Pangkalan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar